RUU tentang
informasi dan transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan
bank indonesia ttg internet banking )
A. Pendahuluan
Saat ini
pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh
aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan dimana hampir seluruh proses
penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara elektronik (paperless).
Perkembangan
teknologi informasi tersebut telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi
bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi
produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui internet
banking merupakan salah satu bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank
yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh
teknologi.
Internet
banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia
khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan
semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan
internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi,
dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi
lebih mudah, akan tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan
kenyataan seperti ini, keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan.
Bahkan mungkin faktor keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang
dapat ditonjolkan oleh pihak bank.
Salah satu
risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah
internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini
menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena
maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi
informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak
nasabah.
Oleh karena
itu perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui
standarisasi pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi
fraud dalam internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
B. Peranan
Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah satu
tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut
Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
Menetapkan
peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip-prinsip kehati-hatian.
Memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
Melaksanakan
pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
Mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pelaksanaan
kewenangan tugas-tugas tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI).
Terkait dengan
tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi bank, salah satu upaya untuk
meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui
pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah
mengeluarkan serangkaian Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank
Indonesia yang harus dipatuhi oleh dunia perbankan antara lain mengenai
penerapan manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan
penerapan prinsip Know Your Customer (KYC).
1. Manajemen
risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking
Peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen
risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank
Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet
(Internet Banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang
menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko
pada aktivitas internet banking secara efektif.
b. Penerapan
manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan
pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang
ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok
penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet
banking adalah:
2. Adanya
pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
a) Komisaris
dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang
terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas,
kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b) Direksi
harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari prosedur
pengendalian pengamanan bank.
3. Pengendalian
pengamanan (security control)
a) Bank harus
melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian (otentikasi)
identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi melalui
internet banking.
b) Bank harus
menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi
tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung
jawab dalam transaksi internet banking.
c) Bank harus
memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet banking, database dan
aplikasi lainnya.
d) Bank harus
memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses (privileges)
yang tepat terhadap sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
e) Bank harus
memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas data,
catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f) Bank harus
memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk
seluruh transaksi internet banking.
g) Bank harus
mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada
internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi
yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.
4. Manajemen
Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank harus
memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon
nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status
hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus
mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah
diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat kedudukan bank
menyediakan produk dan jasa internet banking.
c) Bank harus
memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif
untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa internet banking.
d) Bank harus
mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan
meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan
(internal dan eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa
internet banking.
e) Dalam hal
sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak ketiga
(outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due
dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank
dengan pihak ketiga tersebut.
5. Penerapan prinsip
Know Your Customer (KYC)
Upaya lainnya
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir terjadinya tindak
kejahatan internet fraud adalah pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan
prinsip mengenal nasabah atau yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your
Customer (KYC). Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia
6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip
Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas
nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
b. Dalam
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1) Menetapkan
kebijakan penerimaan nasabah.
2) Menetapkan
kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah.
3) Menetapkan
kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah
4) Menetapkan
kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah.
c. Terkait
dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, maka:
1) Sebelum
melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai
identitas calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan
calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat
mengetahui profil calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon
nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah
tersebut harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib
meneliti kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2) Bagi bank
yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib
melakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan
rekening.
d. Dalam hal
calon nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial
owner) untuk membuka rekening, bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung
identitas dan hubungan hukum, penugasan serta kewenangan bertindak sebagai perantara
dan atau kuasa pihak lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini
identitas beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha
dengan calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen pendukung
nasabah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah
menutup rekening pada bank. Bank juga wajib melakukan pengkinian data dalam hal
terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen pendukung tersebut.
f. Bank wajib
memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau
dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang
dilakukan oleh nasabah bank.
g. Bank wajib
memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai
pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki,
aktivasi transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening.
h. Bank wajib
memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang sekurang-kurangnya
mencakup:
1) Pengawasan
oleh pengurus bank (management oversight).
2)
Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan
tugas.
4) Sistem
pengawasan intern termasuk audit intern.
5) Program
pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
i. Bank
Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC
dan Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian
tersebut dilakukan secara kualitatif atas faktor-faktor manajemen risiko
penerapan KYC.
6. Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi
lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir
internet fraud adalah regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), mengingat APMK merupakan alat atau
media yang sering digunakan dalam kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai
penyelenggaraan APMK terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang
Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan
Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun
pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa
kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu prabayar dan atau yang dipersamakan
dengan hal tersebut.
b). Bagi bank
dan lembaga bukan bank yang merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan bukti
penerapan manajemen risiko.
c). Penerbit
APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan
terkait dengan APMK dan sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap APMK.
d).
Peningkatan keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh infrastruktur
teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan
pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses
transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada kartu kredit. Selain itu, Bank
Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai transparansi informasi produk
bank dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi
nasabah terhadap produk bank dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap
berbagai risiko termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang
Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok
pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain sbb:
a). Bank wajib
menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data
Pribadi Nasabah.
b). Bank
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis
(misconduct).
c). Informasi
Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama produk, jenis produk, manfaat dan
resiko produk, persyaratan dan tatacara penggunaan produk, biaya-biaya yang
melekat pada produk, perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan,
jangka waktu berlakunya Produk Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk
Bank.
d). Bank wajib
memberikan informasi kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko pada setiap
produk bank, dimana bank harus menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang
diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh
nasabah dalam masa penggunaan produk bank.
C. Rahasia
Bank
Salah satu hal
penting dalam memproses pelaku internet fraud adalah pembukaan rahasia bank
untuk memperoleh keterangan simpanan milik pelaku internet fraud tersebut,
dimana keterangan tersebut dapat dijadikan salah bukti oleh aparat penegak
hukum untuk keperluan persidangan pidana.
Ketentuan
mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya setiap Bank dan afiliasinya
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
(Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah
penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap Rahasia
Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia
untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan
kepentingan peradilan perkara pidana dimana status nasabah penyimpan yang akan
dibuka rahasia bank harus tersangka atau terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat
juga disimpangi tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni
untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar
informasi antar bank, atas permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan
ahli waris yang sah.
Dalam hal
diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah
penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak
aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank,
dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian
untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah
yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia
Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan
izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
D. Urgensi
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum
setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya
hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal terjadi tindak pidana
kejahatan di dunia maya, untuk penegakan hukumnya masih menggunakan
ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan surat (Pasal
263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372), penipuan (Pasal 378),
penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan
tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya
(cybercrime) yang modus operandinya terus berkembang. Selain itu dalam
penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal
pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang
terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban,
misalnya pada kasus internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan
adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat)
tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai miliaran
rupiah.
Terkait dengan
hal-hal tersebut di atas, kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU
Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan
memberantas cybercrimes serta dapat memberikan deterrent effect kepada para
pelaku cybercrimes sehingga akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain
itu hal yang penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang
cybercrimes dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun
Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer Dana saat ini telah diajukan
oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di DPR RI, dimana dalam hal ini
Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber khususnya untuk materi yang terkait
dengan informasi dan transaksi keuangan.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN
2002
TENTANG
HAK CIPTA
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan
budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan
pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap
kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b. bahwa
Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di
bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang
memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya;
c. bahwa
perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian
pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik
Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;
d. bahwa dengan
memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Hak Cipta yang ada,
dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang Hak Cipta yang baru menggantikan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan seb agaimana tersebut dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, dibutuhkan Undang-undang tentang Hak Cipta.
Mengingat:
1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564).
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta
adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya
melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi.
3. Ciptaan
adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan
ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang
Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak
tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari
pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman
adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran
suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau
melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan
adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian
yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
7. Potret
adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh
lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
8. Program
Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun gkan dengan media yang dapat
dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam
merancang instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait
adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku
untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara
untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya,
dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya
siarannya.
10. Pelaku
adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan,
memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau
memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni
lainnya.
11. Produser
Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman
bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perek aman suara atau
perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga
Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum,
yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi
dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.
13. Permohonan
adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada
Direktorat Jenderal.
14. Lisensi
adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait
kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau
produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
15. Kuasa
adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan
Undang-undang ini.
16. Menteri
adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual,
termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat
Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di
bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
BAB II
LINGKUP HAK
CIPTA
Bagian Pertama
Fungsi dan
Sifat Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta
merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembata san menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Pencipta
dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer
memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat
komersial.
Pasal 3
(1) Hak Cipta
dianggap sebagai benda bergerak.
(2) Hak Cipta
dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian
tertulis; atau
e. Sebab-sebab
lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Hak Cipta
yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi
milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak
dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
(2) Hak Cipta
yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia,
menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut
tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
Bagian Kedua
Pencipta
Pasal 5
(1) Kecuali
terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
a. orang yang
namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau
b. orang yang
namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu
Ciptaan.
(2) Kecuali
terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan
tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap
sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal 6
Jika suatu
Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang
atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta
mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang
tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan
tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
Pasal 7
Jika suatu
Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di
bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang
yang merancang Ciptaan itu.
Pasal 8
(1) Jika suatu
Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan
pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya
Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan
tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai
ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak
lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu
Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang
membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta,
kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pasal 9
Jika suatu
badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan tidak
menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai
Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya.
Bagian Ketiga
Hak Cipta atas
Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui
Pasal 10
(1) Negara
memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya
nasional lainnya.
(2) Negara
memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan
tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan
warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang
terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Jika suatu
Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara
memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(2) Jika suatu
Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan
tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta
atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(3) Jika suatu
Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau
penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan
Penciptanya.
Bagian Keempat
Ciptaan yang
Dilindungi
Pasal 12
(1) Dalam
Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku,
Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah,
kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga
yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau
musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau
drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa
dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k.
sinematografi;
l. terjemahan,
tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
(2) Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan
tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga
semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu
bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak
Cipta atas:
a. hasil rapat
terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan
perundang-undangan;
c. pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan
pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan
badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Bagian Kelima
Pembatasan Hak
Cipta
Pasal 14
Tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. Pengumuman
dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang
asli;
b. Pengumuman
dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh
atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi,
baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan
itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan
berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga
Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya
harus disebutkan secara lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat
bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai
pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan
Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan
di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan
atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan
suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille
guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan
suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat
apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu
pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial
semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan
salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang
dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Pasal 16
(1) Untuk
kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan
pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra,
Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:
a. mewajibkan
Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan
Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan;
b. mewajibkan
Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain
untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta
yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak
lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam
hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
huruf b.
(2) Kewajiban
untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah
lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban
untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah
lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam
dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b. 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah
diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 7 (tujuh)
tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum
pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4)
Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak
untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
(5)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) huruf b dan huruf c
disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan
tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau
memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 17
Pemerintah
melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta
ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
(1) Pengumuman
suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional
melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak
meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta
diberikan imbalan yang layak.
(2) Lembaga
Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan
ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus
memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Bagian Keenam
Hak Cipta atas
Potret
Pasal 19
(1) Untuk
memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret
seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau
izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang
dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu
Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau
Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu
memuat juga orang lain dalam potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih
dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli
waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret
meninggal dunia.
(3) Ketentuan
dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas
permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas
permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk
kepentingan orang yang dipotret.
Pasal 20
Pemegang Hak
Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang dibuat:
a. tanpa
persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa
persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk
kepentingan yang dipotret, apabila Pengumuman itu bertentangan dengan
kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli
warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.
Pasal 21
Tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan atas seorang Pelaku
atau lebih dalam suatu pertunjukan umum walaupun yang bersifat komersial,
kecuali dinyatakan lain oleh orang yang berkepentingan.
Pasal 22
Untuk
kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses peradilan pidana,
Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan
diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 23
Kecuali
terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta dan pemilik Ciptaan
fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat dan/atau hasil seni lain,
pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak Cipta untuk mempertunjukkan
Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum atau memperbanyaknya dalam satu
katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 apabila hasil karya
seni tersebut berupa Potret.
Bagian Ketujuh
Hak Moral
Pasal 24
(1) Pencipta
atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta
tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.
(2) Suatu
Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak
lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya
dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan
anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.
(4) Pencipta
tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam
masyarakat.
Pasal 25
(1) Informasi
elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak boleh ditiadakan atau
diubah.
(2) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 26
(1) Hak Cipta
atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada pembeli
Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu.
(2) Hak Cipta
yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya
oleh penjual yang sama.
(3) Dalam hal
timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan,
perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta
itu.
Bagian
Kedelapan
Sarana Kontrol
Teknologi
Pasal 27
Kecuali atas
izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai pengaman hak Pencipta tidak
diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat tidak berfungsi.
Pasal 28
(1)
Ciptaan-ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi, khususnya
di bidang cakram optik (optical disc), wajib memenuhi semua peraturan perizinan
dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi yang memproduksi
cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB III
MASA BERLAKU
HAK CIPTA
Pasal 29
(1) Hak Cipta
atas Ciptaan:
a. buku,
pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau
drama musikal, tari, koreografi;
c. segala
bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau
musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah,
kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
h. alat
peraga;
i. peta;
j. terjemahan,
tafsir, saduran, dan bunga rampai berlaku selama hidup Pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
(2) Untuk
Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang
atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling
akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Pasal 30
(1) Hak Cipta
atas Ciptaan:
a. Program
Komputer;
b.
sinematografi;
c. fotografi;
d. database;
dan
e. karya hasil
pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali
diumumkan.
(2) Hak Cipta
atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh)
tahun sejak pertama kali diterbitkan.
(3) Hak Cipta
atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini serta
Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku
selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Pasal 31
(1) Hak Cipta
atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan:
a. Pasal 10
ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 11
ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan
tersebut pertama kali diketahui umum.
(2) Hak Cipta
atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan Pasal 11 ayat (2)
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali
diterbitkan.
Pasal 32
(1) Jangka
waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian
dihitung mulai tanggal Pengumuman bagian yang terakhir.
(2) Dalam
menentukan jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang terdiri atas 2
(dua) jilid atau lebih, demikian pula ikhtisar dan berita yang diumumkan secara
berkala dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau ikhtisar dan berita itu
masing-masing dianggap sebagai Ciptaan tersendiri.
Pasal 33
Jangka waktu
perlindungan bagi hak Pencipta sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 24
ayat (1) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 24
ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas
Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau
nama samaran Penciptanya.
Pasal 34
Tanpa
mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang dihitung
sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka waktu perlindungan bagi
Ciptaan yang dilindungi:
a. selama 50
(lima puluh) tahun;
b. selama
hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah
Pencipta meninggal dunia dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah
Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah
Pencipta meninggal dunia.
BAB IV
PENDAFTARAN
CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat
Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum
Ciptaan.
(2) Daftar
Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap
orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum
Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan
tentang pendaftar an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan
kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran
Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas
isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar.
Pasal 37
(1)
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang
diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
(2) Permohonan
diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis
dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan
dikenai biaya.
(3) Terhadap
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan
memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada
Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan
mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai
konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan
lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal
Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara
bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan tersebut dilampiri salinan
resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar
Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama
Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal
penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal
lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor
pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1)
Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya Permohonan
oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal 37, atau pada saat
diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan Pasal 38 jika
Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh
Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan
hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut Pasal 39 yang terdaftar
dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika seluruh Ciptaan yang terdaftar itu
dipindahkan haknya kepada penerima hak.
(2) Pemindahan
hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari
kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.
(3) Pencatatan
pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat
Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal
Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak
lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat mengajukan gugatan
pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan
nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang namanya tercatat
dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dicatat
dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu dengan dikenai biaya.
(2) Perubahan
nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan
oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum
dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan
atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan
mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan
batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN
1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a bahwa tujuan
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila da Undang-Undang Dasar
1945;
b bahwa
penyelenggara telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh
persatuan dan kesatuaan bangsa,memperlancar kegiatan pemerintahan,mendukung
terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,serta meningkatkan
hubungan antar bangsa;
c bahwa
pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat
pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan
cara pandang tehadap telekomunikasi;
d. bahwa
segala sesuatu yan berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan
dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut,perlu dilakukan penataan dan
pengaturan kembali penyelenggara telekomunikasi nasional;
e bahwa
sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas,maka Undang-undang No.3 tahun 1989
tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi,sehingga perlu diganti;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1),Pasal20 ayat (1) dan Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB II
ASAS DAN
TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,adil dan merata,kepastian
hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata,mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,serta meningkatkan
hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
(1)
Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan
telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang
meliputi penetapan kebijakan,pengaturan,pengesaan dan pengendalian.
(3) Dalam
penetapan kebijakan,pengaturan,pengawasan dan pengendalian dibidang telekomunkasi,sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan
yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
(1) Dalam rangka pengembangan dan pembinaan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,Pemerintah melibatkan peran
serta masyarakat.
(2) Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berupa menyampaian
pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah
perkembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan
kebijakan,pengaturan,pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
(3)
Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
(4) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang
telekomunikasi,asosiasi profesi telekomunikasi,asosiasi produsen peralatan
telekomunikasi,asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi serta
masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
(5) Ketentuan
mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaiman
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri
bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggara telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggara jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggara jasa telekomunikasi;
c. penyelenggara telekomunikasi khusus
(2) Dalam penyelenggaraan
telekomunikasi,diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan Negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan
tututan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a dan huruf b,dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan usaha swasta; atau
d. Koperasi
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c,dapat dilakukan oleh :
a. Perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan
mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud daalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelengggarakan jasa
telekomunikasi.
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi,menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal8 ayat (2) dapat menyelenggaarakan
telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran;
(4) Penyelenggara telekomunikaasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,terdiri dari penyelenggara
telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggara
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan
Praktik Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara
telekomunikasi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat iziz dari
Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil,dan tidak
diskriminatif;serta
c. penyelesaian dalam waktu yaang singkat.
(3) Ketentuan meengeeenai perizinan
penyelenggara telekmunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak and
Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembangunan,pengoperasian,daan
atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi,penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara da atau bangunan yang dimiliki atau
dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan
atau banguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku pula terhadap
sungai,danau,atau laut,baik permukaan maupun dasar.
(3) Pembangunan,pengoperasian dan atau
pemelihaaran jaringan telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1),dilaksanakan
setelaah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara
telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau
bangunan,pengoperasian atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah
terdapat persetujuan diantara para pihak.
Pasal 14
Setiap
peengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Atas kesalahan dan atau kelallaian
penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian,maka pihak-pihak yang
dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara
telekomunikasi.
(2) Penyelengga telekomunikasi wajib memberikan
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),kecuali penyelenggara
telekomunikassi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan
oleh kesalaahan dan atau kelalainya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara peengajuan dan
penyelesaian ganti rugi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Setiap penyelenggara jaringa telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam
pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaiman
dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi
dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang
sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. meningkatkan efisiensi daalam penyelenggaraan
telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar penyediaan sarana dan
prasarana.
Pasal 18
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikassi yang digunakan
oleh pengguna telekomunikasi
(2) Apabila pengguana memerlukan catataan/rekaman
pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman
pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk
pengiriman,penyaluran ,dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi
yang bertentangan dengan kepentingan umum,kesusilaan,keamanan,atau ketertiban
umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan penomoran
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Pasal 24
Permintaan
penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan penomoran sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi
dan biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi
berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)di lakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perngkat telekomunkasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan
telekomunikasi,hakdan kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 26
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak
penyelenggara telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan tarif penyelenggara jasa
telekomunikasi di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besarnya tarif
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan
oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian
Kesembilan
Telekomunikasi
Khusus
Pasal 29
(1) penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b,dilarang
disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) huruf c dapat disambungkan ke
jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk
keperluan penyiaran.
Pasal 30
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat
menyediakan akses didaerah tertentu,maka penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),maka penyelengara telekomunikasi khusus
dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapat izin sebagaiman
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi
khusus untuk keperluan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara
telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan
telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara
telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Perangkat
Telekomunikasi
Spektrum,Frekuensi
Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan
,dibuat ,dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis
perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga
Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit wajib mendapat izin Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan da
pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi
radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib
membayar biaya penggunaan frekuensi,yang besarnya didasarkan atas penggunaan
jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Penggunaan orbit satelit wajib membayar
biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh
kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang
dioperasikan diwilayah perairan Indonesia,tidak diwajibkan memenuhi kewajiban
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan
oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar
peruntukannya ,kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara
Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan
keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang
disambungkan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi
satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum
frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36
(1) Perangkat telekmunikasi yang digunakan oleh
pesawat udara sipil asing dari dan kewilayah udara Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan
oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia diluar
peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara
Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan
marabahaya,wabah,navigasi,dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau
b. disambungkan kejaringan telekomunikasi yang
dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi
satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum
frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin
penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio
untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas
timbal balik.
Bagian
Kesebelas
Pengamanan
Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 39
(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan
pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi
yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui
telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian
kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa
telekomunikasi,penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan.
(2) Untuk keperluan proses peradilan
pidana,penyelenggara telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan
atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau
Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana
tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perekaman dan
permintaan rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian
rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses
peradilan pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 42 ayat(2) tidak merupakan
pelanggaran Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain penyidik Pejabat Polisi Republik
Indonesia,juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang telekomunikasi,diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)berwenang:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan
pemeriksaaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana dibidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau
perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel
dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau
yang diduga berkaita dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa
melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal
25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat
(1),Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 47
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal 52
Barang siapa
memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara
pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36
Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan
perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara
dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal
52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Contoh kasus : Contoh kasus:
PT. MusikIndonesia menerbitkan sebuah lagu yang beraliran
melayu. Lagu ini dijual secara luas di masyarakat. 1 bulan kemudian PT.
Melayuku juga menerbitkan sebuah lagu yang serupa yang isi lagu itu sama dengan
yang dimiliki oleh PT. MusikIndonesia. Tetapi aliran lagunya tidak sama, PT.
Melayuku memakai aliran lagu Jazz dan susunan kata yang sedikit dirubah.
Sementara itu terbitan lagu PT. MusikIndonesia tidak ada, PT. MusikIndonesia
tidak mendaftarkan ciptaannya. PT MusikIndonesia berkeinginan untuk menggugat
PT. Melayuku dengan alasan melanggar hak cipta.
Analisa Kasus:
Menurut saya kasus diatas telah terjadi pelanggaran hak
cipta. Dikarenakan adanya kemiripan hak cipta berupa judul lagu dan isi lagu
yang diterbitkan oleh PT. Melayuku dengan yang diterbitkan oleh PT.
MusikIndonesia dan sudah menimbulkan ketidak nyamanan oleh PT. MusikIndonesia
sebagai penerbit lagu lebih awal dengan judul dan isi yg sama oleh oleh PT.
Melayuku
source :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://hastyutami.blogspot.com/2012/05/uu-no-19-tahun-2002-tentang-hak-cipta.html
http://rynhmwn.blogspot.com/2013/05/uu-no-19-tentang-hak-cipta.html